Langsung ke konten utama

Kopi Muncar yang Semakin Moncer, Kisah Desa Sejahtera Berkat Dukungan Astra

Tren ngopi kian meningkat di era serbadigital saat ini. Berbagai produk minuman yang menggunakan kopi semakin menyemarakkan pasar kuliner Nusantara, mulai kopi tubruk original hingga dengan aneka campuran. Pesatnya media sosial justru membuka pintu pemasaran yang nyaris tanpa batas tapi juga hemat serta mendukung produktivitas.

Kopi Nusantara, salah satu kekayaan lokal yang menjanjikan keuntungan finansial (Dok. belalangcerewet.com)

Menurut data yang dirilis oleh United States Department of Agriculture (USDA) atau Departemen Pertanian Amerika Serikat, produksi kopi global pada periode 2022/2023 mencapai 170 juta kantong per 60 kg kopi. Kabar menggembirakan, Indonesia berada di urutan ketiga sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia menyusul Brazil dan Vietnam.

Pada kurun 2022/2023 Indonesia tercatat telah menghasilkan kopi sebanyak 11,85 juta kantong, yakni kopi Arabika sebanyak 1,3 juta kantong dan Robusta 10,5 juta kantong. Kendati Brazil mendominasi dengan produksi kopi sebanyak 62,6 juta kantong kopi pada 2022/2023, tetapi data ini menyiratkan energi optimisme betapa kopi Nusantara sebenarnya berjaya di tingkat dunia.


Tekad Sofi berbuah kesuksesan

Salah satu kopi lokal yang fenomenal adalah kopi khas Temanggung yang diproduksi oleh para petani di Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, Jawa Tengah. Muncar dikenal sebagai desa yang sejuk nan permai lantara diapit oleh tiga gunung sekaligus, yakni Sindoro, Sumbing, dan Prau. Inilah yang menyebabkannya menjadi lahan ideal untuk tumbuhnya kopi nikmat. Muncar punya stok biji Robusta berlimpah yang telah memukau dunia. Kualitas tinggi itu bukan cuma dikenal di dalam negeri, tetapi juga merambah ke Negeri Kincir Angin alias Belanda. 

Sebelum menjadi desa yang sejahtera, Muncar tadinya biasa saja. Potensi kopi tidak dilirik sebagai komoditas yang menguntungkan warga. Adalah Achmad Sofiyudin yang menjadi penggagas bahwa kopi bakal menjadi pembuka rezeki bagi warga di desanya. Namun di awal perjuangan, ia tak melaluinya dengan kemudahan, Dia mesti berjuang meyakinkan petani setempat untuk mau ikut membudidayakan kopi, mulai menanam, merawat, memanen, hingga mengolah biji kopi dengan menggunakan standar pengolahan internasional.

Achmad Sofiyudin bersemangat untuk majukan desanya (Dok. nininmenulis.com)

Lelaki yang akrab dipanggil Sofi ini berkomitmen menjaga lingkungan sejak tahun 2016 sambil berikhtiar sekuat tenaga untuk melibatkan warga dalam budidaya kopi untuk menyulap desa mereka menjadi wisata berbasis komunitas di tempat tinggalnya tersebut. 

Tekad dan kerja kerasnya akhirnya diganjar oleh sebuah penghargaan prestisius di Indonesia. PT Astra International, Tbk menghadiahinya Satu Indonesia Awards pada tahun 2017 sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam melestarikan lingkungan (termasuk penanaman kopi) dan keuletannya mengajak masyarakat setempat untuk ikut serta dalam kegiatan positif tersebut.

Tahun demi tahun dilalui dengan optimisme. Sofi berhasil mengubah Muncar sebagai desa yang bergerak maju dengan pemberdayaan petani setempat dan komoditas lokal. Tak heran jika Astra tertarik meminang Muncar sebagai Desa Sejahtera Astra (DSA) pada tahun 2018. Sebagai wujud Corporate Social Responsibility (CSR), program ini ingin memperkuat peran masyarakat lokal yang ada di desa-desa berbasis kewirausahaan (enterpreneruship). Dengan dukungan pelatihan, fasilitas, pendanaan, dan pemasaran produk dari Astra, kopi khas Muncar pun semakin moncer--lama-lama kian luas dikenal.

Pamornya terus naik, kopi Muncar bikin ketagihan. (Dok. Sofiyudin)

"Dulu para petani kopi di sini memetik kopi asal-asalan. Masih hijau dipetik dan menjualnya begitu saja. Meskipun harganya murah, sekilo hanya Rp20 ribu sampai Rp26 ribu. Yang penting dapat uang," kata Sofi yang didapuk sebagai fasilitator DSA Temanggung pada saat Workshop Lingkungan 2021 yang dihelat secara virtual oleh Astra, Jumat 26 November 2021 lalu.

Astra bikin Muncar menjadi moncer

Sejak bergabung sebagai DSA pada tahun 2018, perubahan drastis pun terjadi di Muncar. Semula hanya ada 200 orang yang ikut menanam kopi. Jumlahnya lantas melesat pada tahun 2021 menjadi 5.500 orang. Budidaya kopi jelas telah mengubah wajah Muncar, misalnya dengan meningkatnya pendapatan petani setempat dan terbukanya lapangan kerja baru. Dari yang awalnya hanya 20 orang menjadi 80 orang pekerja. 

Berkat kehadiran dan dukungan Astra, produksi kopi akhirnya mampu memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat di sana. Dengan manajemen yang tertata dan pengolahan yang lebih baik, harga kopi Muncar pun mencapai Rp40.000 per kilogram dibandingkan sebelum adanya bantuan Astra yang hanya berkisar pada harga Rp20.000 per kilogram. Warga tergiur dengan potensi kopi sebagai pendongkrak ekonomi.

Selain kopi Robusta, Muncar juga mengandalkan single origin Arabika Petaranga yang banyak peminatnya. Pamor Muncar kian naik dengan hajatan bertajuk Muncar Moncer Coffee Trip dimana wisatawan diajak berkeliling perkebunan kopi. Sambil mengenakan caping dan tenggok (keranjang kecil terbuat dari kayu untuk menampung biji kopi yang telah dipanen), para pengunjung akan diajak merasakan nikmatnya sensasi makan bersama sembari menyeruput secangkir kopi di tengah perkebunan. Bukan cuma pemandangan alam nan indah, tapi juga bisa melihat proses produksi kopi hingga penyajiannya.

Menikmati pengalaman unik, menyantap makanan di tengah perkebunan (Dok. jadesta.kemenparekraf)

Pergelaran lain yang kian menguatkan posisi Muncar adalah Festival Panen Kopi Sang Intan Merah Bumi Phala pada tahun 2019. Lalu ada Barista Brewing Competition Jawa Tengah-DIY dan Muncar Fun Brewing V60 Competition yang tidak tanggung-tanggung, kian menyedot perhatian publik penggemar kopi dan wisatawan pada umumnya. Muncar terus berbenah untuk menggairahkan ekonomi daerah. 

Tumbuhnya ekonomi kreatif

Bermula dari kopi, Muncar di Temanggung kemudian sukses bertransformasi menjadi desa tujuan ekowisata yang luar biasa. Ekowisata ala Muncar memadukan pesona alam setempat dengan tetap mengadopsi pola ramah lingkungan dan pemberdayaan kekayaan lokal yang kaya, termasuk kearifan budaya di sana.

Kian banyaknya wisatawan yang berdatangan ke Muncar, ekonomi kreatif pun perlahan tumbuh. Bukan cuma kopi, tapi komoditas lain mulai bersemi. Produksi pangan lokal dikembangkan, misalnya gula semut, gula aren, madu klanceng, dan aneka keripik. Ada keripik pisang, keripik debok (kulit pisang), keripik daun kopi, dan keripik talas--semuanya berbasis khazanah lokal yang selama ini terabaikan atau tak terbayangkan untuk digarap sebagai komoditas ekonomi. Kekayaan lokal lain yang ikut berkontribusi pada bergeliatnya ekonomi setempat antara lain vanili, cengkih, kemukus, dan pisang raja ditambah perikanan dan peternakan.

Ekowisata di Muncar memantik lahirnya ekonomi kreatif yang terbukti produktif (Dok. jadesta.kemenparekraf)

Selain pangan lokal, pengunjung di Muncar akan dimanjakan dengan eksotisme Curug Lawe, yakni air terjun setinggi 250 meter di tengah hutan pinus dengan pancaran pesona tropisnya. Belum lagi Dusun Blawong yang pernah dijuluki sebagai “Korea van Java” karena menjulang tinggi di atas kabut di antara perbukitan. Dusun ini laksana surga bagi siapa pun yang menghendaki matahari terbit sembari menyesap kopi khas Muncar yang memang moncer.

Berkat binaan Astra, Sofi mengaku perekonomian petani setempat pun meningkat. Dari budidaya kopi saja seorang petani di desanya bisa meraup penghasilan setidaknya Rp30 juta dalam setahun. Jumlah tersebut merupakan angka yang cukup menggiurkan dibandingkan dengan penjualan kopi sebelum Astra datang dan memberikan dukungan.

Semangat untuk masa depan Indonesia

Guna memperluas memperluas jangkauan manfaat, maka Astra memutuskan untuk menggandeng lebih banyak desa sebagai DSA salah satunya demi memenuhi permintaan konsumen akan permintaan kopi Robusta. Jika dulu desa yang bermitra dengan Astra hanya ada tiga, kini jumlahnya berkali-kali lipat yakni 14 desa.

Kisah Achmad Sofiyudin menunjukkan bahwa andil sekecil apa pun bisa berdampak besar asalkan dikerjakan dengan keuletan, kerja keras, dan konsistensi. Perjuangannya membuktikan bahwa seorang pemuda yang kreatif dan mau peduli pada potensi desanya lambat laun akan menemukan jalan dalam membuka peluang tanpa harus mengutuk keadaan atau menyalahkan pemerintah semata-mata. Banyak hal bisa dikerjakan, sebagaimana banyak potensi yang bisa digali berdasarkan kearifan lokal.

Sofi telah membuktikan bahwa usia muda bukan alasan untuk bersantai, juga bukan momen untuk memaklumi diri sebagai masa keterbatasan. Keluar dan bangunlah jejaring, lakukan sesuatu dengan tulis, maka Tuhan akan membukakan jalan, entah dari mana tanpa bisa kita bayangkan. Kalau Temanggung punya kopi, daerah kalian punya apa ya, teman-teman? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How Rain Tree Fights Pollution and Restores Water Resources in Bojonegoro

Pollution has been a major issue that Indonesian people are very concerned about. Big cities like Jakarta and Surabaya have become everybody’s concern since we breathe urban air every single day. While the use of electric vehicles is highly recommended, most people would disagree with various reasons.  Whatever the debate revolves around, the main issue remains. Pollution is inevitable and this young man from Sumberagung, Dander District, Bojonegoro Regency, was encouraged to take real action to restore the deteriorating quality of oxygen in Bojonegoro using the rain tree. The tree is also of great use in bringing back water resources that were diminished due to mining activities.  Rain tree is proven to be able to restore oxygen quality and water resources.   Instead of complaining and launching an aggressive protest, Samsul Arifin Wijoyosukmo initiated GSN which stands for Green Star Nusantara. Founded in 2010, GSN aims to encourage people to care for the environment since our lives

I'm Not A Happy Camper

The pandemic that has been around for more than a semester here in the country has created a heck bunch of consequences most of which are unbearable. Not only are people driven mad in favor of their own ego, their actions reflect what they believe as human. It was pathetic for sure. People in most cities and towns, even in rural areas, have tended to neglect the health protocols recommended by the government. They have obviously rejected the command of wearing face mask or face shield. Physical distancing is no longer familiar as they do enjoy gathering in many public places. Me and my family have consistently denied any request or invitation to join any occasions that mobilize people. This has led to a verdict that we are asocial people. Some even suggest we move to the woods to be in company with animals. At some point, we are not a happy camper. We feel a little bit depressed to have been treated that way. We have described the reason of not attending any event yet they do not seem