Langsung ke konten utama

Hana Maulida dan Gerakan Kakak Aman; Bersama Menyembuhkan Dampak Luka Trauma

Sebuah desa sunyi di Lampung Tengah menjadi saksi runtuhnya kehormatan seorang siswi SMK berusia 15 tahun. Saat ia seharusnya mulai menikmati dunia remajanya dengan ceria, ia justru mengalami sebuah kepahitan hidup. Selama berbulan-bulan, ia memendam luka yang tak tampak. Luka itu ditorehkan oleh dua orang yang seharusnya menjadi pelindungnya: ayah kandung dan paman tirinya. 

Namun, ia akhirnya menemukan kekuatan di tengah ketakutan yang menjeratnya. Ketika keberanian kecil itu tumbuh, ia melangkah ke ruang guru. Dengan penuh harap, ia menatap gurunya dengan mata yang basah dan mengucap kebenaran pahit yang terlalu berat untuk usia semuda itu. 

Ilustrasi rudapaksa (Sumber: klikdokter.com)

Dari pengakuan lirihnya, terbongkarlah kisah kelam rudapaksa yang bermula di tanggal 5 Juli 2024. Hari itu, alih-alih menenangkan dan melindungi, tetapi sang ayah justru mengulang kekerasan yang telah dilakukan pamannya, dengan dalih bahwa putrinya telah “rusak”. Pada bulan yang sama, peristiwa itu berulang hingga lima kali dan meninggalkan trauma yang lebih dalam daripada luka apa pun. 

Namun, di balik kepedihan itu, ada secercah cahaya: tangan-tangan para guru, orang tua, dan lembaga-lembaga perlindungan anak segera menjangkau korban dan menjemputnya keluar dari lingkaran gelap menuju tempat aman. Saat itulah, sebuah langkah awal untuk menyembuhkan dimulai meski jalan menuju pulih sepenuhnya masih panjang dan berliku.

Menyibak Kabut, Menata Asa Lepas dari Trauma

Setiap tahun, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) seperti palu godam yang menyeruakkan fakta miris. Sepanjang 2024 saja, tercatat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak. 

Di balik angka-angka yang tampak tak berperasaan itu, ada jerit yang tak sempat terdengar. Ada trauma yang membekas di tubuh dan batin anak-anak itu. Ironinya, sebagian besar pelaku kekerasan bukan orang asing. Mereka justru datang dari lingkaran terdekat: ayah, paman, tetangga, bahkan guru yang seharusnya menjadi cahaya. 

Anak-anak itu tumbuh dalam paradoks: ancaman paling nyata justru bersembunyi di ruang paling akrab. Padahal, rumah sering disebut-sebut sebagai benteng terakhir yang menjadi tempat setiap anak berlindung dari badai di tengah kehidupan dunia.

Lalu muncul pertanyaan hingga saat ini masih menggantung: mengapa ruang aman ini begitu rapuh?

Sebagian jawabannya tersembunyi di dalam sesuatu yang selama ini dianggap tabu: Pendidikan seksualitas komprehensif (PSK). Di banyak keluarga dan sekolah, pembicaraan soal tubuh, batasan, dan consent masih ditutup rapat oleh rasa malu dan stigma. Orang tua lebih nyaman membungkam ketimbang menjelaskan. Banyak guru yang masih lebih memilih mengalihkan topik ketimbang membuka percakapan.

Kakak Aman hadir untuk anak-anak agar berani berkata "tidak" jika ada yang membuatnya tak nyaman. (Sumber: mamanesia.com)


Akibatnya, jutaan anak tumbuh tanpa peta pertahanan dirinya. Mereka tak tahu bagaimana membedakan kasih sayang dari tindakan pelecehan atau kenyamanan dari ancaman. Di sinilah, di tengah keheningan yang terasa menyesakkan itu, suara lembut dari seorang perempuan muda mulai terdengar.

Panggilan Nurani dari Kota Serang

Namanya Hana Maulida. Ia bukan psikolog, bukan aktivis senior, juga bukan pejabat negara. Ia hanyalah seseorang yang tak sanggup lagi berdiam diri di tengah arus berita kekerasan terhadap anak yang datang saban minggu.

Hana Maulida, founder Gerakan Kakak Aman Indonesia (Sumber: GNFI)

Kisah tentang panggilan hati Hana ini berawal di Banten. Di sebuah rumah sederhana di Serang, Hana duduk di depan layar laptopnya pada suatu malam. Ia membaca ulang berita tentang seorang anak berusia tujuh tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri, lebih dari sepuluh kali.

Hal yang paling menyayat hati bukan hanya peristiwa itu sendiri, tetapi kalimat di ujung berita: “Korban telah mencoba bercerita kepada ibunya, tetapi tidak ditanggapi dengan serius.”

“Waktu itu saya hanya bisa terdiam,” kenang Hana. “Bayangkan, anak sekecil itu sudah berani bercerita, tapi justru tidak dipercaya. Dari situ saya sadar, yang rusak bukan cuma pelaku, tapi sistem kesadaran kita.”

Malam itu, ia tak bisa tidur. Dalam diam, ia menulis ide-ide kecil di selembar kertas: bagaimana jika ada gerakan yang bisa mengajari anak-anak untuk mengenal tubuh mereka sendiri, memahami batasan, dan tahu ke mana harus bicara jika merasa tidak nyaman?

Kakak Aman hadir sebagai sahabat yang mengajarkan tentang perlindungan diri kepada anak-anak. (Sumber: cantika.com)

Kertas dan catatan itu kemudian berubah menjadi langkah nyata. Pada Januari 2023, bersama dua rekannya, Hana mendirikan Gerakan Kakak Aman Indonesia.

Sebuah Nama, Seberkas Harapan

Nama “Kakak Aman” tidak lahir sembarangan. Ia lahir dari filosofi sederhana tetapi cukup dalam.

Kata “kakak” menggambarkan figur yang hangat, tidak menggurui, dan mudah didekati. Kakak menjadi seorang teman yang bisa diajak bermain, tertawa, sekaligus belajar. Sementara “aman” adalah kondisi yang menjadi hak dasar setiap anak dan sesuatu yang semestinya melekat sejak lahir.

Kakak Aman hadir sebagai jembatan, yaitu di antara pengetahuan dan empati dan di antara anak-anak dengan dunia orang dewasa yang sering tak tahu harus memulai dari mana.

Kakak Aman bergerak bersama ke sekolah, komunitas, posyandu, demi anak-anak agar terlindungi. (Sumber: GNFI)

Hana dan timnya memulai dari hal paling kecil. Mereka datang ke sekolah-sekolah dasar, ke komunitas pengajian, ke posyandu, bahkan ke ruang-ruang tamu warga. Tempat pertama yang mereka datangi adalah SDN Buah Gede di Kota Serang. Di sana, di depan puluhan anak yang duduk bersila, Hana membuka sesi pertama mereka tentang perlindungan tubuh pribadi.

Ia tidak datang dengan presentasi rumit. Ia membawa boneka tangan, lagu sederhana, dan sebuah kisah berjudul “Tubuhku Istimewa”.

“Kalau bagian tubuh yang tertutup baju renang itu siapa yang boleh pegang?” tanya Hana, sambil menatap anak-anak satu per satu.

Mereka berpikir sejenak, lalu menjawab serempak, “Hanya diri sendiri dan ibu waktu mandi!”

Kakak Aman mengajarkan perlindungan diri dengan cara yang mudah diterima anak-anak. (Sumber: mamanesia.com)

Tawa kecil pun pecah. Tapi di balik keceriaan itu, Hana tahu benih kesadaran sedang tumbuh.

Melawan Tabu dengan Dongeng dan Nyanyian

Metode Kakak Aman sengaja dibuat sederhana, murah, tapi berdampak. Mereka tahu, pendidikan seksualitas tidak bisa disampaikan dengan gaya seminar yang kaku. Anak-anak tidak butuh teori, tetapi butuh cerita dan lagu yang membuat mereka merasa nyaman.

Ada dongeng edukatif yang mengajarkan tentang good touch dan bad touch tanpa kata yang menakutkan. Ada permainan dan nyanyian di mana lewat irama, anak-anak belajar menamai bagian tubuh pribadi dan batasannya. Ada dialog interaktif yang membangun keakraban agar anak berani bertanya. Juga ada lembar mewarnai ilustratif agar pelajaran tentang tubuh tidak terasa menegangkan.

Kakak Aman mengajarkan perlindungan diri menggunakan metode sesuai usia anak-anak. (Sumber: fajarbali.com)

Semua kegiatan disusun berdasarkan usia dan konteks budaya mereka. Untuk anak TK, pendekatannya berupa cerita bergambar. Untuk siswa SD, diselipkan diskusi ringan tentang rasa tidak nyaman dan keberanian berkata “tidak.”

“Kami tidak sedang mengajarkan hal yang vulgar,” jelas Hana suatu kali dalam sesi pelatihan untuk guru. “Kami mengajarkan anak-anak untuk punya kendali atas tubuhnya sendiri.”

Dalam waktu kurang dari dua tahun, gerakan ini meluas ke Kabupaten Serang dan Cilegon. Di setiap tempat, mereka disambut antusias, kadang oleh guru, kadang oleh ibu-ibu yang membawa anak mereka sendiri.

Bahkan kaum ibu dan para guru antusias mengikuti kegiatan Kakak Aman. (Sumber: GNFI)

Ruang Aman yang Diciptakan dari Ketulusan

Di setiap sesi Kakak Aman, ada momen-momen kecil yang selalu membekas di hati Hana. Suatu hari ketika sesi edukasi di sebuah sekolah dasar telah selesai, seorang anak perempuan mendekatinya dengan mata berbinar. “Kak, aku sekarang tahu. Kalau ada orang yang bikin aku nggak nyaman, aku boleh bilang enggak, ya?” katanya lirih.

Hana tersenyum dan menjawab pelan, “Iya, sayang. Tubuhmu milikmu sendiri.” Kalimat sederhana itu, bagi Hana, adalah alasan untuk terus melanjutkan perjuangannya.

Merajut Harapan dari Angka dan Aksi

Dari Januari 2023 hingga akhir 2024, jejak Kakak Aman telah menorehkan hasil yang nyata:

  • Lebih dari 4.000 anak mendapat edukasi perlindungan tubuh secara langsung.

  • Lebih dari 250 guru dan orang tua dilatih menjadi pendidik seksual pertama bagi anak mereka sendiri.

  • Lebih dari 17 daerah di sekitar Banten ikut terjangkau gerakan ini.

Setiap angka bukan sekadar statistik. Di baliknya, ada anak-anak yang kini tahu bahwa mereka punya hak untuk menolak sentuhan yang tak diinginkan. Ada guru yang mulai berani mengajarkan pelajaran tentang consent tanpa takut disalahpahami. Ada orang tua yang akhirnya bisa berbicara tentang tubuh tanpa rasa malu.

“Yang kami lakukan sederhana,” ujar Hana. “Kami cuma ingin anak-anak tahu bahwa mereka berharga dan orang dewasa di sekitar mereka siap mendengarkan.”

Pengakuan dan Perjalanan yang Terus Berlanjut

Kerja keras itu tak berlalu tanpa jejak. Pada 2024, Hana Maulida menerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk untuk dedikasinya di bidang pendidikan perlindungan anak. Tapi bagi Hana, penghargaan itu bukan akhir perjalanan, tetapi hanya batu loncatan kecil.

Hana Maulida dengan Kakak Aman menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2024 (Sumber: GNFI)

“Saya senang karena isu ini mulai didengar,” katanya. “Tapi masih banyak daerah yang belum punya akses. Masih banyak anak yang belum tahu bahwa mereka berhak merasa aman.”

Visinya kini meluas. Ia ingin modul Kakak Aman dapat direplikasi secara bebas oleh siapa pun, bahkan tanpa kehadiran timnya. Ia membayangkan sebuah gerakan nasional yang melibatkan ribuan “kakak” di setiap kota dan desa yang mengajarkan satu pesan universal: Tubuhmu adalah milikmu!

Menanam Keberanian di Tanah yang Pernah Diam

Di negeri yang sering menyalahkan korban, keberanian untuk bicara adalah revolusi kecil. Gerakan Kakak Aman tidak hanya mengajarkan perlindungan, tetapi juga menyembuhkan luka yang tak terlihat. Telah lama luka antargenerasi itu diajarkan untuk diam, untuk tidak menantang otoritas, untuk menutupi rasa sakit demi menjaga nama keluarga.

Hana tahu betul, tidak mudah melawan budaya diam itu. Pernah terjadi di sebuah desa, ada seorang tokoh masyarakat menegur mereka, “Jangan ajari anak ngomong soal tubuh, nanti malah rusak.”

Tapi Hana hanya tersenyum. “Justru karena kita nggak ngajari, mereka jadi nggak tahu caranya melindungi diri,” balasnya tenang.

Sebuah Gerakan, Sebuah Janji

Hana Maulida tidak hanya tengah berperang melawan pelaku semata. Ia juga sedang berperang melawan ketidaktahuan dan melawan diam yang turun-temurun.

Ia percaya, edukasi seksual bukan sekadar pelajaran, tapi menjadi vaksin bagi masyarakat untuk mencegah luka dan trauma sebelum terjadi. Melalui dongeng, lagu, dan percakapan hangat, ia menanamkan benih keberanian di hati anak-anak.

Hana Maulida bersama dengan orang tua dan realawan (Sumber: mamanesia.com)

Gerakan Kakak Aman bukan sekadar kampanye, tetapi menjadi cermin bagi masyarakat bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Mungkin suatu hari nanti, ketika seorang anak di pelosok Indonesia berani berkata “tidak” pada sentuhan yang membuatnya takut atau tak nyaman, di sanalah gema lembut suara Hana akan terdengar:  “Tubuhmu milikmu, Nak. Kamu berhak merasa aman!”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mata Kering? Insto Dry Eyes Solusinya Tanpa Pergi ke Dokter

Pernah merasa mata sepet, perih, atau lelah saat bekerja atau menatap layar gadget terlalu lama? Sensasi seperti ada yang mengganjal saat berkedip, pandangan buram, hingga rasa tidak nyaman lainnya bisa jadi tanda mata kering. Kondisi ini makin umum terjadi di era digital sekarang, di mana mata kita terus bekerja ekstra setiap hari. Insto Dry Eyes, solusi mata kering tanpa pergi ke dokter Kabar baiknya, Anda tidak selalu perlu ke dokter untuk mengatasi gangguan ini. Banyak solusi praktis yang bisa Anda lakukan sendiri di rumah, salah satunya dengan menggunakan tetes mata seperti  INSTO DRY EYES . Perawatan cepat dan tepat akan membantu meringankan rasa tidak nyaman akibat mata kering secara efektif. Kenapa Mata Terasa Kering? Kenali Gejalanya Kebanyakan orang tidak sadar saat gangguan mata kering sedang terjadi. Padahal, tubuh sudah memberi sinyal yang jelas. 1.      Gejala yang sering diabaikan Rasa terbakar atau panas di mata Sensasi seperti berpa...

As Different as Chalk and Cheese

I WAS TEMPTED to compare my condition with those of my brother and my sister. Our present condition is like cheese and chalk. It's completely different. At least from where I see it now. My older brother is married to a woman of a wealthy family just like my younger sister who marries a man of a rich family. Their parents-in-law belong to what we can call the affluent. Money is never an issue to them, really. Chalk and cheese: very different (Credit: freepik) Those two siblings of mine, to me, have an easy life, under the auspices of their wealthy parents-in-law. It's easier for them to use or acquire something I normally find difficult. In simpler words, they benefit from having rich parents-in-law. Let's say I'm just a piece of chalk in this case. I'm married to a beautiful lady of average family. It's neither poor nor rich. But that is not a big deal, certainly. While I wanna get a better life financially, I'm not complaining at all about my life. I...

Kopi Muncar yang Semakin Moncer, Kisah Desa Sejahtera Berkat Dukungan Astra

Tren ngopi kian meningkat di era serbadigital saat ini. Berbagai produk minuman yang menggunakan kopi semakin menyemarakkan pasar kuliner Nusantara, mulai kopi tubruk original hingga dengan aneka campuran. Pesatnya media sosial justru membuka pintu pemasaran yang nyaris tanpa batas tapi juga hemat serta mendukung produktivitas. Kopi Nusantara, salah satu kekayaan lokal yang menjanjikan keuntungan finansial (Dok. belalangcerewet.com) Menurut data yang dirilis oleh United States Department of Agriculture (USDA) atau Departemen Pertanian Amerika Serikat, produksi kopi global pada periode 2022/2023 mencapai 170 juta kantong per 60 kg kopi. Kabar menggembirakan, Indonesia berada di urutan ketiga sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia menyusul Brazil dan Vietnam. Pada kurun 2022/2023 Indonesia tercatat telah menghasilkan kopi sebanyak 11,85 juta kantong, yakni kopi Arabika sebanyak 1,3 juta kantong dan Robusta 10,5 juta kantong. Kendati Brazil mendominasi dengan produksi kopi sebany...